Minggu, 25 Desember 2011

BANGUNAN SEJARAH SANG BAPAK PENDIDIKAN


     
Cerahnya sinar mentari siang itu senada dengan iring-iringan warna orange yang memadati jalan. Mereka adalah rombongan mahasiswa jurnalistik jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tahun 2009 yang pada siang itu, Sabtu (17/12) akan mengunjungi Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) yang berlokasi di Jalan Tamansiswa 25 Yogyakarta. Suasana kekeluargaan sangat terasa saat Ki Agus Purwanto, pengelola Bagian Teknis dan Pemanduan MDKG menyambut kedatangan mahasiswa UAD tersebut.
            Rasa penasaran para mahasiswa itu seolah terjawab ketika Agus dengan sabar menjelaskan sejarah berdirinya museum tersebut. Pertanyaan-pertanyaan antusias mereka pun satu per satu dijawabnya dengan detail.  Agus Pun melanjutkan ceritanya sambil mengjak para mahasiswa masuk ke dalam museum.
            Pada mulanya, rumah gaya Jawa-Eropa klasik tersebut adalah tempat tinggal Ki Hadjar Dewantara. Pada tahun 1958 saat pelaksanaan rapat pamong Tamansiswa, beliau mengusulkan agar tempat tinggalnya kelak dijadikan museum. Keinginan beliau ditanggapi dengan baik, dan dilaksanakan setelah beliau wafat tahun 1959. Sejak 1960, Tamansiswa berusaha untuk mewujudkan gagasan almarhum. Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada tanggal 2 Mei 1970 Museum Tamansiswa diresmikan dan dibuka oleh Nyi Hadjar Dewantara dengan nama “Dewantara Kirti Griya”. Menurut Agus, Kirti mempunyai arti harfiah “kerja”, yang berarti kerja atau jerih payah Ki Hadjar Dewantara. MDKG tentu saja telah melakukan beberapa kali renovasi. Agus menambahkan, sekalipun mengalami berkali-kali renovasi, MDKG termasuk museum memorial, sehingga bentuk fisik dan tata letak perabotan dibuat sama seperti ketika Ki Hadjar Dewantara masih hidup. Terakhir, Agus menambahkan museum mendapatkan bantuan dari Dinas Kebudayaan untuk renovasi, sehingga sudah wangun untuk dikunjungi.

.    
            Layaknya museum lain, MDKG tentu banyak menyimpan barang-barang koleksi peninggalan Ki Hadjar Dewantara dan keluarganya.Koleksi tersebut meliputi bangunan, perabotan, pakaian, surat kabar, majalah, naskah, foto, film, dokumen-dokumen, serta lukisan-lukisan yang masih terlihat indah. Perabotan-perabotan antik dalam museum itu menarik mata siapa saja untuk melihatnya. Bagaimana tidak, barang-barang yang dibuat kisaran abad 19-an itu bahkan masih terlihat indah dan tertata dengan rapi, seperti telepon buata pabrik Kellog Swedia, mesin ketik kuno, bahkan proyektil mortir 160, yaitu satu dari tembakan mortir Belanda yang diarahkan ke Tamansiswa. Selain itu, hal menarik lainnya adalah perpustakaan Ki Hadjar Dewantara yang sekaligus menjadi ruang kerja beliau. Ratusan buku dalam berbagai bahasa tersusun rapi dalam rak. Tak hanya buku, catatan-catatan pribadi Ki Hadjar Dewantara pun dijadikan koleksi. Dalam perpustakaan tersebut juga masih tergantung rapi baju tahanan penjara yang dulu dikenakan Ki Hadjar saat menjadi tahanan Belanda. Baju dan celana berbahan jeans itu bahkan masih bagus, tak kalah dengan jeans yang dikenakan anak-anak muda jaman sekarang.
            Kamar tidur KiHadjar dan Nyi Hadjar pun terlihat sangat rapi, masih terdapat tempat tidur gaya klasik dengan renda putih disana. Ki Hadjar pun ternyata masih mempunyai satu kamar tidur pribadi. Kamar tidur putri Ki Hadjar pun tak kalah rapi, kamar ini mempunyai pintu shortcut langsung menuju ke kamar Ki Hadjar dan Nyi Hadjar Dewantara.
            Foto-foto dan lukisan peninggalan Ki Hadjar pun tak kalah menarik untuk dilihat. Mulai dari lukisan Ki Hadjar dan Nyi Hadjar, serta foto-foto pengetua Tamansiswa, tiga serangkai, serta foto Ki Hadjar Dewantara saat memperoleh gelar Doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
            Tak lupa, Agus menambahkan bahwa diharapkan mahasiswa-mahasiswa UAD dapat menyebarluaskan informasi tentang museum Dewantara Kirti Griya ini kepada masyarakat luas, agar masyarakat dapat mengambil pelajaran dan ilmu dari museum juga koleksi-koleksi sejarah yang terdapat di dalamnya.
   
            Waktu semakin siang, sinar mentari pun semakin gigih menyengat. Kunjungan siang itu ditutup oleh Mlathi (21) perwakilan Mahasiswa Jurnalis UAD tahun 2009. Para mahasiswa UAD pun pulang dengan segudang ilmu, pengetahuan, dan yang pasti mereka menyadari bahwa Indonesia khususnya Yogyakarta kaya akan orang-orang hebat seperti Ki Hadjar Dewantara, dan tanggung jawab menjadi mahasiswa akan menjadi lebih besar, karena pemuda harus mampu meneruskan perjuangan para pendahulu, dan hal itu dimulai dengan belajar.
                                                                                                                        Patria Handung Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar