Cerpen
Patria Handung Jaya
Kulihat
lagi diriku di cermin, ternyata jilbabku masih miring. Kurapikan lagi jilbabku,
kupoles pula wajahku dengan bedak agar terlihat sedikit lebih putih. Semua
sudah siap. Cincin emas dan kalung emas putih terjuntai indah menghiasi
tubuhku. Tak lupa jam tangan merk terkenal
kulingkarkan di tangan kiriku.
“Oh, payung…siapa tahu nanti hujan,”
batinku. Malam itu, seperti biasanya rumah tampak sepi. Anak dan menantuku
belum pulang. Sedangkan cucuku…ya, namanya anak baru gede masih
senang-senangnya mencari jati diri. Hanya ada pembantu di rumah yang sedang asyik ngobrol dengan tukang kebun
sebelah rumah.
“Mbak, aku pergi ya,”teriakku dengan
suara icempreng
“Badhe
tindak pundi to bu Joyo?”, suara
mbak Minah dengan logat Jowonya yang
kental
“Biasa to mbak…aku itu mau kerja”
“Aduh, bu…nanti kalo saya kena marah mas
Agil lagi bagaimana? Kemarin saja saya dibentak habis-habisan sama mas Agil
gara-gara membiarkan Ibu pergi.
“Uwes-uwes…nanti
biar aku yang bicara sama anakku, wes yo mbak
aku berangkat.”
Kulihat
tampang Minah yang cemas karena aku tetap ngeyel
ingin pergi. Mungkin dalam batinnya, kenapa masih ada seorang wanita tua 55
tahun pergi kelayaban setiap malam.
Kalau dilihat dari segi ekonomi, aku memang orang yang sangat berkecukupan,
mungkin malah berlebih. Tidak serta merta aku meraih semua ini dengan mudah.
Aku teringat 30 tahun
yang lalu. Ketika aku yang seorang janda membesarkan anakku seorang diri dalam
keadaan ekonomi yang morat-marit.
Impianku hanya satu saat itu, anak laki-lakiku satu-satunya harus jadi sarjana.
Aku berdagang sayur di pasar pada pagi hari, dan masih membuka warung kopi di
malam hari demi membesarkan Agil, anakku. Aku tidak merasa malu, tidak merasa
bosan, tidak juga merasa kesepian, karena Agil selalu ada disisiku, dial ah
semangat hidupku. Satu-satunya alasanku masih tetap bertahan di dunia yang
penuh ketidak adilan ini.
Hembusan angin yang
menusuk kulit malam itu membuyarkan lamunanku. Ya, aku memang terbiasa berjalan
kaki setiap malam ketika aku hendak pergi bekerja. Ya…bekerja. Waktu masih
menunjukkan pukul 8 malam. Masih sore untuk ukuran anak muda jaman sekarang.
Disebut masih sore, karena bahkan banci dan wanita jalang pun belum menunjukkan
aksinya. Sepintas aku melihat seorang wanita yang sedang sibuk melatih anaknya
naik sepeda onthel. Lamunanku kembali
melayang ke beberapa tahun yang lalu.
Hari, bulan dan tahun
terus berganti. Agil sudah mahasiswa sekarang. Dia berhasil diterima di
Universitas negeri terbaik di Jogja. Memang impiannya sejak dulu, dia tak ingin jauh dari Jogja, Orang Jogja
tulen, katanya. Jarak kampus dan rumah kami memang cukup jauh. Bahkan bisa
sampai 1,5 jam.
“Kamu ndak mau ngekos to le?”, tanyaku padanya.
“Mboten
ah, Bu…kalau saya ngekos, kasihan Ibu dirumah sendirian,” jawabnya lugu.
Begitulah anakku, saying sekali sama
Ibunya. Merasa kasihan dengannya yang harus pulang-pergi kampus naik angkutan
umum, aku mengambil sebuah keputusan besar. Aku memberanikan diri untuk
berhutang kepada saudara untuk membeli sepeda motor. Ditambah dengan uang
tabunganku, kurasa cukup lah untuk membelikan Agil sebuah motor bebek.
Pagi
itu Agil belum bangun. Sepeda motor baru sudah siap di depan rumah. Betapa
terkejutnya ia begitu melihat sebuah motor terparkir indah di depan rumah.
“Buuu…Ibuuukk…Ini motor siapa to, Bu?”, tanyanya terheran-heran.
“Ya motor kamu to, Le…”, jawabku sumringah.
“Bu, kita kan lagi banyak butuh uang,
kok malah beli motor?”, nadanya semakin tinggi.
“Cah bagus, coba bayangin. Ongkos kamu
pulang-pergi kampus naik bis tiap hari itu berapa? Kan malah lebih hemat kalau
kamu punya motor. Belum lagi kalau kamu pulang malam. Lebih aman, Le.”, jawabku
sabar.
“Enggih,
Bu… tapi uang dari mana ini?”
“Sudah, kamu nggak usah ikut mikir.
Satu-satunya yang harus kamu pikirkan adalah sekolahmu. Belajar sing sregep, biar Ibumu bangga.”
“Enggih,
Bu…pasti, saya pasti buat Ibu bangga. Saya juga akan membahagiakan Ibu
nanti.”
Tiiiiiiiiinnn…suara
klakson mobil dari belakang membuatku kembali ke masa sekarang. Tak terasa
sudah puluhan tahun berlalu. Tanpa sadar air mata jatuh membanjir di pipi
membuat bedak ku luntur seketika. Aku teringat akan janji Agil yang ingin
membahagiakanku. Jika dilihat dari luar, mungkin memang aku bahagia, dengan
segala materi yang Agil berikan kepadaku. Tapi apakah itu cukup? Jika boleh
jujur, aku tidak butuh uang!
4
tahun berlalu. Agil pun sudah diwisuda dengan predikat kumloud dengan nilai tertinggi di Fakultasnya. Lebih senangnya
adalah, sudah ada perusahaan yang menawarkan posisi penting di perusahaannya.
Ya, lulusan Sarjana Pertanian dengan nilai tinggi memang selalu dicari orang.
Seiring
berjalannya waktu dan kesibukan Agil dengan pekerjaannya di kota. Agil
mengajakku untuk tinggal bersamanya di kota Jogja. Dia berkata bahwa Bos nya
memberikan rumah dinas untuknya. Mewah, indah, bagus katanya. Namun, berat
rasanya untuk meninggalkan Gunung Kidul, banyak kenangan yang tersimpan di
rumah ini. Kenangan bersama suamiku, kenanganku membesarkan Agil seorang diri,
dan masih banyak kenangan-kenangan yang lainnya. Namun Agil kembali
meyakinkanku untuk ikut dia pindah ke Jogja.
“Agil nggak tega ninggalin Ibu
sendirian disini. “, ucapnya.
“Apa kamu yakin Ibu gak ngrepotin kamu nanti disana, Le?”, tanyaku.
“Mboten
lah, Bu…sekarang giliran Agil yang nyenengin
Ibu.”, jawabnya meyakinkanku.
Dengan berat hati, kutinggalkan rumah
peninggalan suamiku yang penuh akan kenangan itu. Kumelangkah bersama putraku,
ya…putra kesayanganku.
Rumah
yang sungguh indah memang. Tidak kalah dengan rumah-rumah yang sering ditayangkan
di sinetron-sinetron. Tetapi bagiku, rumah di Gunung Kidul tetap nomor satu.
Kasurnya pun terasa aneh, seperti tidur di atas peer. Membuat posisi tidurku tidak nyaman.
Beberapa
bulan setelah kepindahan kami, Agil mengenalkan seorang wanita, yang katanya
akan menjadi calon istrinya. Aku setuju saja. Toh yang akan menjalani biduk
rumah tangga kan Agil, bukan aku. Lagipula, kulihat wanita bernama Kunti itu
sungguh baik, manis, dan sopan.
Pernikahan
mereka pun dianugerahi seorang putra yang sangat tampan bernama Aga. Namun,
setelah kelahiran Aga, mereka berdua seperti sibuk dengan urusan mereka
sendiri. Ya, Agil dan Kunti memang bekerja di perusahaan yang sama, jadi kalau
yang satu belum pulang, maka yang lain juga belum. Sampai-sampai Aga pun harus
diurus oleh Minah, pembantu kami.
Tak
cuma Aga, aku pun merasa diasingkan. Agil selalu saja sibuk dengan urusan
kantornya. Tiap kali aku ingin berbagi cerita, alasannya selalu saja lelah,
capek, dan ingin segera istirahat. Padahal apa sih yang diinginkan seorang wanita seumuranku kalau bukan
menuikmati masa tua bersama anak di sampingku.
Memang
segala kebutuhan materiku terpenuhi. Aku tak penah kelaparan, aku punya barang
mewah. Tapi sekali lagi, aku tak butuh semua itu! Yang aku butuhkan hanyalah
kasih sayang! Aku masih miskin, miskun akan kasih dan sayang.
Air
mata terus saja membasahi pipiku. Tak terasa, aku sudah sampai di kompleks
tempat aku bekerja. Inilah saatnya, aq mulai menjalankan pekerjaanku. Warung
demi warung, aku masuki, bahkn tempat ramai aku datangi untuk sekedar meminta
uang recehan
“Mas, mbak sedekah…”, ucapku lirih.
Ya, mengemis adalah pekerjaanku setiap
malam! Entah mengapa aku mendapatkan kepuasan dengan cara seperti ini. Entah
kenapa aku senang melihat orang lain mengiba kepadaku, seperti ada rasa kasihan
dan rasa sayang di diri mereka kepadaku, meskipun tak jarang pula yang
menghinaku, melihat perhiasan indah yang terjuntai di tubuhku.
“oalaahh
buuu…orang kayak ok ngemis”, sahut beberapa orang.
Tetapi seandainya mereka tahu, bukan
uang mereka yang sebenarnya aku inginkan. Yang kuemis adalah kasih sayang
mereka, perhatian mereka. Paling tidak mereka memperhatikanku saat aku datang
dan meminta sedekah pada mereka.
Kembali
aku berjalan, mencari warung atau tempat ramai untuk aku datangi. Tetapi
tiba-tiba dari kejauhan ada sebuah mobil yang berjalan semakin mendekat ke
arahku. Aku mengenali warna mobil itu, nomor polisi nya pun cukup familiar
untukku. Itu Agil dan Kunti. Ternyata mereka mencariku, dan memaksau untuk
pulang.
“Ibu ini kemana saja? Kenapa tiap malam
Ibu harus pergi, sebenarnya Ibu ngapain?”
Tanya Agil ketus
“Ibu tu ngerti donk, kalau kami itu
sibuk, gak ada waktu buat terus
ngawasi Ibu”, tiba-tiba Kunti menimpali omongan Agil.
Tiba-tiba terdengar suara orang dari
seberang jalan yang mencoba ingin ikut campur, “Ibuk e ngemis, Mas.”
“Apa Bu…ngemis? Memang selama ini uang
yang Agil kasih kurang buat Ibu?”.
Aku hanya diam mendengar omelan dari Agil.
“Sudah ah, Bu…Agil capek. Tolong Ibu
jangan bikin Agil susah terus.
Sekarang Ibu masuk mobil, kita pulang.
Orang-orang di sekelilingku terheran,
mungkin mereka bertanya-tanya, seorang wanita yang biasanya mengemis, naik ke
sebuah mobil mewah.
Dalam
mobil aku hany beristighfar, beginikah anakku yang dulu kubesarkan? Beginikah
Agil yang dulu sangat sayang kepada Ibunya, kini berubah menjadi seorang yang
kasar hanya karena dimabuk oleh kesibukan dan nikmat dunia? Samar-samar
kudengar obrolan Agil dan Kunti yang akan memecat Minah, karena tidak becus
merawatku, dan akan menyewakanku seorang perawat pribadi.
“Atau bawa ke panti jompo saja, Mas”,
sayup kudengar ucapan Kunti yang membujuk Agil untuk membawaku ke panti jompo.
“Astaghfirullahaladziim”, batinku. Ya
Allah jika tahu begini, lebih baik aku dulu tetap tinggal di Gunung Kidul,
biarlah aku sendiri asal bias menikmati hidupku tanpa harus berada di panti
jompo.
Malam
semakin larut, mataku tak bisa terpejam. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan
keluar. Aku berjalan mengendap keluar rumah agar tak membangunkan siapapun.
Akupun terus berjalan meratapi kemalanganku. Apakah memang seperti ini balasan
setiap anak kepada orang tuanya? Dari kejauhan aku seperti melihat suamiku. Ya,
dia Mas Joyo, suamiku. Tapi tidak, dia sudah meninggal puluhan tahun yang lalu!
Namun bayangan itu semakin nyata, dia terus berjalan lurus sampai kearah
sungai. Tangannya melambai, seperti ada sebuah kedamaian di sana, kedamaian
abadi. Aku yang sedang mencari kedamaian
pun berjalan lurus menuju arah mas Joyo, aku berjalan terus ke sungai itu,
berjalan menuju arah kedamaian. Kedamaian yang abadi, bersama suamiku.
Janturan, Februari 2012
nice story..kpn2 saling share ya..
BalasHapushahahaha...thank you mel...
BalasHapusboleh..boleh...mari berkarya...:D