Sabtu, 04 Februari 2012

AKU MASIH MISKIN

Cerpen Patria Handung Jaya

            Kulihat lagi diriku di cermin, ternyata jilbabku masih miring. Kurapikan lagi jilbabku, kupoles pula wajahku dengan bedak agar terlihat sedikit lebih putih. Semua sudah siap. Cincin emas dan kalung emas putih terjuntai indah menghiasi tubuhku. Tak lupa jam tangan merk terkenal kulingkarkan di tangan kiriku.
“Oh, payung…siapa tahu nanti hujan,” batinku. Malam itu, seperti biasanya rumah tampak sepi. Anak dan menantuku belum pulang. Sedangkan cucuku…ya, namanya anak baru gede masih senang-senangnya mencari jati diri. Hanya ada pembantu di rumah yang sedang asyik ngobrol dengan tukang kebun sebelah rumah.
“Mbak, aku pergi ya,”teriakku dengan suara icempreng
Badhe tindak pundi to bu Joyo?”, suara mbak Minah dengan logat Jowonya yang kental
“Biasa to mbak…aku itu mau kerja”
“Aduh, bu…nanti kalo saya kena marah mas Agil lagi bagaimana? Kemarin saja saya dibentak habis-habisan sama mas Agil gara-gara membiarkan Ibu pergi.
Uwes-uwes…nanti biar aku yang bicara sama anakku, wes yo mbak aku berangkat.”

            Kulihat tampang Minah yang cemas karena aku tetap ngeyel ingin pergi. Mungkin dalam batinnya, kenapa masih ada seorang wanita tua 55 tahun pergi kelayaban setiap malam. Kalau dilihat dari segi ekonomi, aku memang orang yang sangat berkecukupan, mungkin malah berlebih. Tidak serta merta aku meraih semua ini dengan mudah.
Aku teringat 30 tahun yang lalu. Ketika aku yang seorang janda membesarkan anakku seorang diri dalam keadaan ekonomi yang morat-marit. Impianku hanya satu saat itu, anak laki-lakiku satu-satunya harus jadi sarjana. Aku berdagang sayur di pasar pada pagi hari, dan masih membuka warung kopi di malam hari demi membesarkan Agil, anakku. Aku tidak merasa malu, tidak merasa bosan, tidak juga merasa kesepian, karena Agil selalu ada disisiku, dial ah semangat hidupku. Satu-satunya alasanku masih tetap bertahan di dunia yang penuh ketidak adilan ini.
Hembusan angin yang menusuk kulit malam itu membuyarkan lamunanku. Ya, aku memang terbiasa berjalan kaki setiap malam ketika aku hendak pergi bekerja. Ya…bekerja. Waktu masih menunjukkan pukul 8 malam. Masih sore untuk ukuran anak muda jaman sekarang. Disebut masih sore, karena bahkan banci dan wanita jalang pun belum menunjukkan aksinya. Sepintas aku melihat seorang wanita yang sedang sibuk melatih anaknya naik sepeda onthel. Lamunanku kembali melayang ke beberapa tahun yang lalu.
Hari, bulan dan tahun terus berganti. Agil sudah mahasiswa sekarang. Dia berhasil diterima di Universitas negeri terbaik di Jogja. Memang impiannya sejak dulu, dia tak ingin jauh dari Jogja, Orang Jogja tulen, katanya. Jarak kampus dan rumah kami memang cukup jauh. Bahkan bisa sampai 1,5 jam.
“Kamu ndak mau ngekos to le?”, tanyaku padanya.
Mboten ah, Bu…kalau saya ngekos, kasihan Ibu dirumah sendirian,” jawabnya lugu.
Begitulah anakku, saying sekali sama Ibunya. Merasa kasihan dengannya yang harus pulang-pergi kampus naik angkutan umum, aku mengambil sebuah keputusan besar. Aku memberanikan diri untuk berhutang kepada saudara untuk membeli sepeda motor. Ditambah dengan uang tabunganku, kurasa cukup lah untuk membelikan Agil sebuah motor bebek.
            Pagi itu Agil belum bangun. Sepeda motor baru sudah siap di depan rumah. Betapa terkejutnya ia begitu melihat sebuah motor terparkir indah di depan rumah.
“Buuu…Ibuuukk…Ini motor siapa to, Bu?”, tanyanya terheran-heran.
“Ya motor kamu to, Le…”, jawabku sumringah.
“Bu, kita kan lagi banyak butuh uang, kok malah beli motor?”, nadanya semakin tinggi.
“Cah bagus, coba bayangin. Ongkos kamu pulang-pergi kampus naik bis tiap hari itu berapa? Kan malah lebih hemat kalau kamu punya motor. Belum lagi kalau kamu pulang malam. Lebih aman, Le.”, jawabku sabar.
Enggih, Bu… tapi uang dari mana ini?”
“Sudah, kamu nggak  usah ikut mikir. Satu-satunya yang harus kamu pikirkan adalah sekolahmu. Belajar sing sregep, biar Ibumu bangga.”
Enggih, Bu…pasti, saya pasti buat Ibu bangga. Saya juga akan membahagiakan Ibu nanti.”
            Tiiiiiiiiinnn…suara klakson mobil dari belakang membuatku kembali ke masa sekarang. Tak terasa sudah puluhan tahun berlalu. Tanpa sadar air mata jatuh membanjir di pipi membuat bedak ku luntur seketika. Aku teringat akan janji Agil yang ingin membahagiakanku. Jika dilihat dari luar, mungkin memang aku bahagia, dengan segala materi yang Agil berikan kepadaku. Tapi apakah itu cukup? Jika boleh jujur, aku tidak butuh uang!
            4 tahun berlalu. Agil pun sudah diwisuda dengan predikat kumloud dengan nilai tertinggi di Fakultasnya. Lebih senangnya adalah, sudah ada perusahaan yang menawarkan posisi penting di perusahaannya. Ya, lulusan Sarjana Pertanian dengan nilai tinggi memang selalu dicari orang.
            Seiring berjalannya waktu dan kesibukan Agil dengan pekerjaannya di kota. Agil mengajakku untuk tinggal bersamanya di kota Jogja. Dia berkata bahwa Bos nya memberikan rumah dinas untuknya. Mewah, indah, bagus katanya. Namun, berat rasanya untuk meninggalkan Gunung Kidul, banyak kenangan yang tersimpan di rumah ini. Kenangan bersama suamiku, kenanganku membesarkan Agil seorang diri, dan masih banyak kenangan-kenangan yang lainnya. Namun Agil kembali meyakinkanku untuk ikut dia pindah ke Jogja.
“Agil nggak tega ninggalin Ibu sendirian disini. “, ucapnya.
“Apa kamu yakin Ibu gak ngrepotin kamu nanti disana, Le?”, tanyaku.
Mboten lah, Bu…sekarang giliran Agil yang nyenengin Ibu.”, jawabnya meyakinkanku.
Dengan berat hati, kutinggalkan rumah peninggalan suamiku yang penuh akan kenangan itu. Kumelangkah bersama putraku, ya…putra kesayanganku.
            Rumah yang sungguh indah memang. Tidak kalah dengan rumah-rumah yang sering ditayangkan di sinetron-sinetron. Tetapi bagiku, rumah di Gunung Kidul tetap nomor satu. Kasurnya pun terasa aneh, seperti tidur di atas peer. Membuat posisi tidurku tidak nyaman.
            Beberapa bulan setelah kepindahan kami, Agil mengenalkan seorang wanita, yang katanya akan menjadi calon istrinya. Aku setuju saja. Toh yang akan menjalani biduk rumah tangga kan Agil, bukan aku. Lagipula, kulihat wanita bernama Kunti itu sungguh baik, manis, dan sopan.
            Pernikahan mereka pun dianugerahi seorang putra yang sangat tampan bernama Aga. Namun, setelah kelahiran Aga, mereka berdua seperti sibuk dengan urusan mereka sendiri. Ya, Agil dan Kunti memang bekerja di perusahaan yang sama, jadi kalau yang satu belum pulang, maka yang lain juga belum. Sampai-sampai Aga pun harus diurus oleh Minah, pembantu kami.
            Tak cuma Aga, aku pun merasa diasingkan. Agil selalu saja sibuk dengan urusan kantornya. Tiap kali aku ingin berbagi cerita, alasannya selalu saja lelah, capek, dan ingin segera istirahat. Padahal apa sih yang diinginkan seorang wanita seumuranku kalau bukan menuikmati masa tua bersama anak di sampingku.
            Memang segala kebutuhan materiku terpenuhi. Aku tak penah kelaparan, aku punya barang mewah. Tapi sekali lagi, aku tak butuh semua itu! Yang aku butuhkan hanyalah kasih sayang! Aku masih miskin, miskun akan kasih dan sayang.
            Air mata terus saja membasahi pipiku. Tak terasa, aku sudah sampai di kompleks tempat aku bekerja. Inilah saatnya, aq mulai menjalankan pekerjaanku. Warung demi warung, aku masuki, bahkn tempat ramai aku datangi untuk sekedar meminta uang recehan
“Mas, mbak sedekah…”, ucapku lirih.
Ya, mengemis adalah pekerjaanku setiap malam! Entah mengapa aku mendapatkan kepuasan dengan cara seperti ini. Entah kenapa aku senang melihat orang lain mengiba kepadaku, seperti ada rasa kasihan dan rasa sayang di diri mereka kepadaku, meskipun tak jarang pula yang menghinaku, melihat perhiasan indah yang terjuntai di tubuhku.
oalaahh buuu…orang kayak ok ngemis”, sahut beberapa orang.
Tetapi seandainya mereka tahu, bukan uang mereka yang sebenarnya aku inginkan. Yang kuemis adalah kasih sayang mereka, perhatian mereka. Paling tidak mereka memperhatikanku saat aku datang dan meminta sedekah pada mereka.
            Kembali aku berjalan, mencari warung atau tempat ramai untuk aku datangi. Tetapi tiba-tiba dari kejauhan ada sebuah mobil yang berjalan semakin mendekat ke arahku. Aku mengenali warna mobil itu, nomor polisi nya pun cukup familiar untukku. Itu Agil dan Kunti. Ternyata mereka mencariku, dan memaksau untuk pulang.
“Ibu ini kemana saja? Kenapa tiap malam Ibu harus pergi, sebenarnya Ibu ngapain?” Tanya Agil ketus
“Ibu tu ngerti donk, kalau kami itu sibuk, gak ada waktu buat terus ngawasi Ibu”, tiba-tiba Kunti menimpali omongan Agil.
Tiba-tiba terdengar suara orang dari seberang jalan yang mencoba ingin ikut campur, “Ibuk e ngemis, Mas.”
“Apa Bu…ngemis? Memang selama ini uang yang Agil kasih kurang buat Ibu?”. Aku hanya diam mendengar omelan dari Agil.
“Sudah ah, Bu…Agil capek. Tolong Ibu jangan bikin Agil susah terus. Sekarang Ibu masuk mobil, kita pulang.
Orang-orang di sekelilingku terheran, mungkin mereka bertanya-tanya, seorang wanita yang biasanya mengemis, naik ke sebuah mobil mewah.
            Dalam mobil aku hany beristighfar, beginikah anakku yang dulu kubesarkan? Beginikah Agil yang dulu sangat sayang kepada Ibunya, kini berubah menjadi seorang yang kasar hanya karena dimabuk oleh kesibukan dan nikmat dunia? Samar-samar kudengar obrolan Agil dan Kunti yang akan memecat Minah, karena tidak becus merawatku, dan akan menyewakanku seorang perawat pribadi.
“Atau bawa ke panti jompo saja, Mas”, sayup kudengar ucapan Kunti yang membujuk Agil untuk membawaku ke panti jompo.
“Astaghfirullahaladziim”, batinku. Ya Allah jika tahu begini, lebih baik aku dulu tetap tinggal di Gunung Kidul, biarlah aku sendiri asal bias menikmati hidupku tanpa harus berada di panti jompo.
            Malam semakin larut, mataku tak bisa terpejam. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar. Aku berjalan mengendap keluar rumah agar tak membangunkan siapapun. Akupun terus berjalan meratapi kemalanganku. Apakah memang seperti ini balasan setiap anak kepada orang tuanya? Dari kejauhan aku seperti melihat suamiku. Ya, dia Mas Joyo, suamiku. Tapi tidak, dia sudah meninggal puluhan tahun yang lalu! Namun bayangan itu semakin nyata, dia terus berjalan lurus sampai kearah sungai. Tangannya melambai, seperti ada sebuah kedamaian di sana, kedamaian abadi.  Aku yang sedang mencari kedamaian pun berjalan lurus menuju arah mas Joyo, aku berjalan terus ke sungai itu, berjalan menuju arah kedamaian. Kedamaian yang abadi, bersama suamiku.

                                                                                                     Janturan, Februari 2012

2 komentar: