Kamis, 15 Desember 2011

Langit Tak Ku Raih, Bumi Tak Ku Pijak


Cerpen Patria Handung Jaya

            Tak ada perkembangan sama sekali. Setelah berbulan-bulan Fira mengenal Wahyu, hubungan mereka masih saja abu-abu. Harapan yang seolah diberikan Wahyu kepadanya mungkin hanya tinggal selembar harapan yang tak akan pernah jadi kenyataan. Sebagai seorang wanita yang telah menginjak angka 21 tahun, perasaan Fira tentu saja berkecamuk.
“Aku harus mempunyai pegangan” cetusnya tegas!
Fira tentu saja mempunyai satu alasan kuat mengapa ia mati-matian mempertahankan Wahyu. Pikirannya melayang, ia mengingat kembali awal pertemuannya dengan Wahyu 4 bulan yang lalu. Tak ada yang mengira bahwa acara tahunan yang diselenggarakan oleh kampus itu mengubah segalanya. Tak ada yang special dari Wahyu ketika Fira menatap matanya saat pertama kali bertemu. Ia hanya mengenal lelaki berkulit sawo matang itu sebagai ketua panitia dalam acara tersebut. Sampai suatu ketika, seorang kawan Wahyu menyeletuk,

“Eh, mana yang namanya Fira? Dicari tuh sama Wahyu”
Fira mengernyitkan dahi. “Apa maksudnya?” dia membatin. Fira tak menanggapi celotehan kawannya itu dengan serius. Fira adalah seorang aktifis professional yang tidak mudah terkena rayuan murahan.
                                                                        ***
            Acara kampus itu pun selesai. Semua panitia, termasuk Fira merasa sangat puas dengan terselenggaranya acara itu. Yah, maklum menjadi panitia ospek di salah satu Universitas swasta yang menjadi cadangan banyak mahasiswa yang tidak lolos PTN memang sangat melelahkan. Membludaknya mahasiswa itu membuat Fira dan teman-teman merasa sangat kewalahan.
            Malam itu Fira ingin sejenak merebahkan badannya di kasur, sudah beberapa hari ia merasa tidur tak nyaman. Baru saja matanya hampir terpejam, sebuah SMS yang bisa dibilang romantis, atau mungkin juga aneh ia terima.
“Hah, mas Wahyu”. Gumamnya pelan. SMS kata-kata mutiara itu masih dianggap wajar oleh Fira.
“Ah, paling juga dia kirim SMS ini ke semua temen dia”pikirnya menghibur diri.
            Lama kelamaan Fira merasa aneh dengan sering masuknya SMS-SMS itu. Fira mencoba menanyakan hal ini kepada Dina, teman dekatnya, dan ternyata Dina tak pernah sama sekali mendapat SMS dari Wahyu. Fira mulai curiga, ada apa sebenarnya, apakah diam-diam Wahyu memperhatikannya selama ini?
            Semakin hari, Wahyu bertindak lebih berani. Tak lagi mengirimkan kata mutiara, dia mencoba memberanikan diri untuk mengobrol dengan Fira, tapi tentu saja masih melalui pesan singkat.
“Jeng” isi pesan singkat dari Wahyu untuk Fira.
Opo mas?”, jawab Fira dengan gaya bahasa Jawa nya yang kental. Wanita kelahiran Sleman ini memang sangat mencintai bahasa warisan leluhurnya.
“Gak bisa merem” jawab Wahyu singkat.
            Malam demi malam berganti, SMS-SMS mereka pun tak lebih panjang dari SMS sebelumnya. Namun intensitas SMS yang sesering itu membuat Fira addict. Sehari saja tak ada SMS dari Wahyu, Fira merasa aneh. Dari situ lah, Wahyu member signal-signal kepada Fira yang tentu saja ditanggapi positif olehnya.
                                                                        ***
            Rupanya kehangatan Wahyu dalam SMS itu tak sebanding ketika mereka bertemu. Wahyu lebih banyak diam, tak banyak kata terucap dari mulutnya ketika bertemu dengan Fira. Grogi, dan salah tingkah tampak sekali di raut wajah Wahyu ketika bersemuka dengan Fira.
                                                                        ***
            Pikiran Fira kembali menerawang. Tak ada kemajuan. Hubungan mereka hanya jalan di tempat. Ketakutan demi ketakutan mulai menghinggapi pikiran Fira. Ketakutan Fira cukup beralasan. Wahyu adalah salah seorang aktifis religi, hal ini sebenanrnya sangat tampak dari penampilan fisiknya yang suka memelihara jenggot dan ogah berjabat tangan dengan perempuan. Hal ini lah yang Fira takutkan, informasi dari teman-temannya yang mengatakan bahwa orang seperti Wahyu banyak melakukan pendekatandengan perempuan, membuat Fira bertanya-tanya.
            “Apakah aku hanya saah satu pilihan saja?”
            “Apakah aku yang berharap terlalu berlebihan?” gumamnya.
            Di saat seperti sekarang ini, Libra, sahabat yang bernaung dalam satu oragisasi dan satu kelas dengan Fira selalu mendukungnya untuk memantapkan hati. Libra selalu mendorong Fira untuk mencari informasi lebih jauh tentang Wahyu kepada teman dekatnya. Namun sifat keras kepala Fira yang selalu mencoba cuek dan menunggu langkah selanjutnya dari Wahyu sepertinya sia-sia. Fira merasa di awang-awang bagaikan tak dapat meraih langit, dan tak dapat memijak bumi, ia digantung. Digantung oleh seorang Wahyu yang mungkin tak mengerti perasaan perempuan sama sekali.
            Pernah sekali Fira merasa di atas awan, ia pikir Wahyu melakukan satu langkah besar. Wahyu mengajaknya kencan pada di malam minggu. Fira mengiyakan. Sampai pada harinya, Wahyu tak juga memberi kabar, Fira menunggu. Sampai akhirnya jam 9 malam Wahyu megirimkan pesan singkat.
“Maaf, hari ini banyak yang harus diselesaikan”
Dan ternyata Fira salah, Wahyu belum melakukan langkah apapun.
                                                                        ***
            Akhir-akhir ini, Wahyu sedang sibuk untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden mahasiswa. Intensitas SMS nya dengan Fira pun berkurang. Fira terus menceritakan kesedihannya pada Libra, sahabatnya.
“Cobalah kamu lebih memberikan signal kepada Wahyu”, ucap Libra
I already did it, tapi kenyataannya tak ada tanggapan positif darinya, Ia hanya sibuk dengan organisasi nya dan pencalonan dirinya”, balas Fira tegas.
Libra menganggap Wahyu tak lebih dari seorang pengecut yang tak bisa mengungkapkan perasaanya kepada perempuan yang ia suka. Wahyu mungkin tak sadar bahwa perbuatannya sekarang mungkin menghalangi lelaki yang sesungguhnya diciptakan untuk Fira.
Kejadian mencengangkan terjadi suatu hari di kantor HM tempat Fira bernaung. Wahyu datang dengan salah seorang temannya, lalu terucap sesuatu darinya.
“Fir, saya dan partai sudah memutuskan untuk memilih kamu mendampingi saya di kursi calon wakil presiden”
“Maaf,saya tidak salah dengar?”, balas Fira gemetar.
Keraguan berkecamuk di hati Fira. Eksistensinya di dunia perpolitikan kampus mendatangkan pikiran negative dalam dirinya.
“Ini pasti hanya konspirasi politik”, batinnya.
Fira dengan tegas menolak pinangan Wahyu. Tanggung jawab yang sangat besar itu ditolaknya dengan berbagai alasan.
                                                            ***
            Bulan berganti bulan, Wahyu telah berhasil menduduki kursi presiden mahasiswa di kampus. Intensitas SMS Wahyu dan Fira semakin berkurang. Fira hanya bisa memandangi Wahyu dari kejauhan, bertemu pun mereka hampir tak pernah.
            Fira masih berharap. Sekali dia menentukan pilihan, susah untuknya berpaling. Ia berharap suatu saat Wahyu kembali seperti dulu, dan mungkin bahkan melakukan langkah yang pasti tentang hubungan mereka.
            Benar saja, suatu ketika Wahyu datang ke rumah Fira. Bisa dibayangkan betapa senangnya ia saat itu. Wahyu tidak datang dengan membawa sekuntum bunga, tidak juga membawakannya untaian kata romantis. Ia datang dengan selembar kertas undangan. Wahyu akan menikah minggu depan, dengan seorang gadis asal Palembang. Fira menangis, kejadian masa lalunya terulang kembali.
                                                                                         Yogyakarta, Desember 2011

2 komentar: