Cerpen
Patria Handung Jaya
Tak
ada perkembangan sama sekali. Setelah berbulan-bulan Fira mengenal Wahyu,
hubungan mereka masih saja abu-abu. Harapan yang seolah diberikan Wahyu
kepadanya mungkin hanya tinggal selembar harapan yang tak akan pernah jadi
kenyataan. Sebagai seorang wanita yang telah menginjak angka 21 tahun, perasaan
Fira tentu saja berkecamuk.
“Aku harus mempunyai
pegangan” cetusnya tegas!
Fira tentu saja
mempunyai satu alasan kuat mengapa ia mati-matian mempertahankan Wahyu. Pikirannya
melayang, ia mengingat kembali awal pertemuannya dengan Wahyu 4 bulan yang
lalu. Tak ada yang mengira bahwa acara tahunan yang diselenggarakan oleh kampus
itu mengubah segalanya. Tak ada yang special dari Wahyu ketika Fira menatap
matanya saat pertama kali bertemu. Ia hanya mengenal lelaki berkulit sawo
matang itu sebagai ketua panitia dalam acara tersebut. Sampai suatu ketika,
seorang kawan Wahyu menyeletuk,
“Eh, mana yang namanya
Fira? Dicari tuh sama Wahyu”
Fira mengernyitkan dahi. “Apa
maksudnya?” dia membatin. Fira tak menanggapi celotehan kawannya itu dengan
serius. Fira adalah seorang aktifis professional yang tidak mudah terkena
rayuan murahan.
***
Acara
kampus itu pun selesai. Semua panitia, termasuk Fira merasa sangat puas dengan
terselenggaranya acara itu. Yah, maklum menjadi panitia ospek di salah satu
Universitas swasta yang menjadi cadangan banyak mahasiswa yang tidak lolos PTN
memang sangat melelahkan. Membludaknya mahasiswa itu membuat Fira dan
teman-teman merasa sangat kewalahan.
Malam
itu Fira ingin sejenak merebahkan badannya di kasur, sudah beberapa hari ia
merasa tidur tak nyaman. Baru saja matanya hampir terpejam, sebuah SMS yang bisa dibilang romantis, atau
mungkin juga aneh ia terima.
“Hah, mas Wahyu”. Gumamnya pelan. SMS kata-kata mutiara itu masih dianggap
wajar oleh Fira.
“Ah, paling juga dia kirim SMS ini ke semua temen dia”pikirnya
menghibur diri.
Lama
kelamaan Fira merasa aneh dengan sering masuknya SMS-SMS itu. Fira mencoba
menanyakan hal ini kepada Dina, teman dekatnya, dan ternyata Dina tak pernah
sama sekali mendapat SMS dari Wahyu.
Fira mulai curiga, ada apa sebenarnya, apakah diam-diam Wahyu memperhatikannya
selama ini?
Semakin
hari, Wahyu bertindak lebih berani. Tak lagi mengirimkan kata mutiara, dia
mencoba memberanikan diri untuk mengobrol dengan Fira, tapi tentu saja masih
melalui pesan singkat.
“Jeng” isi pesan singkat dari Wahyu
untuk Fira.
“Opo
mas?”, jawab Fira dengan gaya bahasa Jawa nya yang kental. Wanita kelahiran
Sleman ini memang sangat mencintai bahasa warisan leluhurnya.
“Gak bisa merem” jawab Wahyu singkat.
Malam
demi malam berganti, SMS-SMS mereka pun tak lebih panjang dari SMS sebelumnya. Namun intensitas SMS yang sesering itu membuat Fira addict. Sehari saja tak ada SMS dari Wahyu, Fira merasa aneh. Dari
situ lah, Wahyu member signal-signal kepada Fira yang tentu saja ditanggapi positif
olehnya.
***
Rupanya
kehangatan Wahyu dalam SMS itu tak
sebanding ketika mereka bertemu. Wahyu lebih banyak diam, tak banyak kata
terucap dari mulutnya ketika bertemu dengan Fira. Grogi, dan salah tingkah
tampak sekali di raut wajah Wahyu ketika bersemuka dengan Fira.
***
Pikiran
Fira kembali menerawang. Tak ada kemajuan. Hubungan mereka hanya jalan di
tempat. Ketakutan demi ketakutan mulai menghinggapi pikiran Fira. Ketakutan
Fira cukup beralasan. Wahyu adalah salah seorang aktifis religi, hal ini
sebenanrnya sangat tampak dari penampilan fisiknya yang suka memelihara jenggot
dan ogah berjabat tangan dengan perempuan. Hal ini lah yang Fira takutkan, informasi
dari teman-temannya yang mengatakan bahwa orang seperti Wahyu banyak melakukan
pendekatandengan perempuan, membuat Fira bertanya-tanya.
“Apakah
aku hanya saah satu pilihan saja?”
“Apakah
aku yang berharap terlalu berlebihan?” gumamnya.
Di
saat seperti sekarang ini, Libra, sahabat yang bernaung dalam satu oragisasi
dan satu kelas dengan Fira selalu mendukungnya untuk memantapkan hati. Libra
selalu mendorong Fira untuk mencari informasi lebih jauh tentang Wahyu kepada
teman dekatnya. Namun sifat keras kepala Fira yang selalu mencoba cuek dan
menunggu langkah selanjutnya dari Wahyu sepertinya sia-sia. Fira merasa di awang-awang
bagaikan tak dapat meraih langit, dan tak dapat memijak bumi, ia digantung.
Digantung oleh seorang Wahyu yang mungkin tak mengerti perasaan perempuan sama
sekali.
Pernah
sekali Fira merasa di atas awan, ia pikir Wahyu melakukan satu langkah besar.
Wahyu mengajaknya kencan pada di malam minggu. Fira mengiyakan. Sampai pada
harinya, Wahyu tak juga memberi kabar, Fira menunggu. Sampai akhirnya jam 9
malam Wahyu megirimkan pesan singkat.
“Maaf, hari ini banyak yang harus
diselesaikan”
Dan ternyata Fira salah, Wahyu belum
melakukan langkah apapun.
***
Akhir-akhir
ini, Wahyu sedang sibuk untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden mahasiswa.
Intensitas SMS nya dengan Fira pun
berkurang. Fira terus menceritakan kesedihannya pada Libra, sahabatnya.
“Cobalah kamu lebih memberikan signal
kepada Wahyu”, ucap Libra
“I
already did it, tapi kenyataannya tak ada tanggapan positif darinya, Ia
hanya sibuk dengan organisasi nya dan pencalonan dirinya”, balas Fira tegas.
Libra menganggap Wahyu tak lebih dari
seorang pengecut yang tak bisa mengungkapkan perasaanya kepada perempuan yang
ia suka. Wahyu mungkin tak sadar bahwa perbuatannya sekarang mungkin
menghalangi lelaki yang sesungguhnya diciptakan untuk Fira.
Kejadian mencengangkan
terjadi suatu hari di kantor HM tempat Fira bernaung. Wahyu datang dengan salah
seorang temannya, lalu terucap sesuatu darinya.
“Fir, saya dan partai sudah memutuskan
untuk memilih kamu mendampingi saya di kursi calon wakil presiden”
“Maaf,saya tidak salah dengar?”, balas
Fira gemetar.
Keraguan berkecamuk di hati Fira.
Eksistensinya di dunia perpolitikan kampus mendatangkan pikiran negative dalam
dirinya.
“Ini pasti hanya konspirasi politik”,
batinnya.
Fira dengan tegas menolak pinangan
Wahyu. Tanggung jawab yang sangat besar itu ditolaknya dengan berbagai alasan.
***
Bulan
berganti bulan, Wahyu telah berhasil menduduki kursi presiden mahasiswa di
kampus. Intensitas SMS Wahyu dan Fira
semakin berkurang. Fira hanya bisa memandangi Wahyu dari kejauhan, bertemu pun
mereka hampir tak pernah.
Fira
masih berharap. Sekali dia menentukan pilihan, susah untuknya berpaling. Ia
berharap suatu saat Wahyu kembali seperti dulu, dan mungkin bahkan melakukan
langkah yang pasti tentang hubungan mereka.
Benar
saja, suatu ketika Wahyu datang ke rumah Fira. Bisa dibayangkan betapa
senangnya ia saat itu. Wahyu tidak datang dengan membawa sekuntum bunga, tidak
juga membawakannya untaian kata romantis. Ia datang dengan selembar kertas
undangan. Wahyu akan menikah minggu depan, dengan seorang gadis asal Palembang.
Fira menangis, kejadian masa lalunya terulang kembali.
Yogyakarta,
Desember 2011
Asyeek Mas, mari menulis!!!
BalasHapusayeeeeeee.....senamkan jarimu...bugarkan kreatifitasmu!!! :D
BalasHapus