DUA TAHUN UNTUK SELAMANYA
Cerpen Patria Handung Jaya
Dag…dig…dug…mungkin begitulah perasaanku ketika melihat sosok Imran, seorang mahasiswa semester tiga Fakultas Teknik di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Berada di naungan satu almamater tak membuatku bisa setiap hari bertemu dengan Imran. Ya, lelaki itulah yang sejak beberapa bulan lalu mengganggu pikiranku. Dengan baju yang selalu terlihat rapih, rambut gaya spikey, dan senyuman yang terlukis manis di wajahnya. Tetapi bukan karena itu aku tertarik padanya. Entah kenapa begitu melihatnya aku yakin bahwa akulah pemilik tulang rusuknya.
Pagi itu aku melihat Imran sedang terburu-buru menuju ke kelasnya. Hmmm, maklumlah dia orang sibuk, semalaman dia baru saja mengadakan event festival band di kampus. Mungkin kantuk masih menyerangnya, sehingga ia terlambat masuk kelas hari ini. Di sela larinya ia masih sempat menyapa teman-temannya yang sedang asyik ber-hot spot-an di area hall kampus. Akan tetapi, keramahannya tersebut tak berlanjut untukku, padahal aku hanya beberapa meter berdiri di depannya. Ya, maklumlah, aku hanya diam-diam mengaguminya, dia bahkan tak mengenalku.
Nita. Ya, begitu teman-teman memanggilku, seorang mahasiswi semester awal jurusan Bahasa Inggris di universitas yang sama dengan Imran. Keaktifanku di beberapa organisasi kampus lah yang membuatku bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang lagi-lagi aku tak habis pikir entah kenapa aku menyukainya. Bagaimana begitu? Lucu memang. Dia bahkan tak mengenalku, atau bahkan mungkin tak pernah menganggap aku ada, lantas apa bagaimana aku bisa jatuh hati padanya sementara berbicarapun tak pernah? Konyol, tapi itulah cinta, kadang kita sendiri tak tahu datang darimana.
Lama-lama aku seperti orang yang tidak tahu diri. Aku hanya bisa bersimpuh di setiap sholatku, berharap suatu saat ada jalan untukku dan Imran. Tapi apakah itu mungkin? Karena jika dilogika saja sepertinya itu sangat tidak mungkin. “Ah, Allah selalu punya jalan untuk hamba-Nya,” kataku menghibur diri.
Hari demi haripun berganti, Allah masih belum membukakan jalanku dengannya. Apakah aku harus menyerah? Tidak!! kataku tegas dalam hati. Aku sadar bahwa cintaku ini bukanlah cinta monyet, bukan cinta-cintaan anak-anak ABG labil, tapi benar-benar tulus dari dalam hatiku. Aku teringat akan salah seorang temanku yang bernasib sama denganku. Dia menyukai seorang lelaki dan usahanya sangat gigih, bahkan sampai mencari tahu nomor HP, akun facebook dan twitter sang lelaki tersebut. Apakah aku harus berbuat hal yang sama sepertinya? Apakah aku juga harus aktif dan berusaha sehingga Allah mau membukakan jalanku dengannya? Tapi sekali lagi aku tegaskan, tidak! Aku merasa bahwa wanita tidak pantas melakukan hal-hal semacam itu, akupun berfikir jika nantinya Imran akan merasa ilfeel denganku jika aku melakukan hal-hal seperti itu. Ilmu pelet? Tidak! Tak akan pernah aku melakukan jalan setan.
Bulan berganti bulan, aku selalu berikhtiar dan memohon kepada Allah agar aku diberikan jalan bersama Imran. “Ya Allah, jika memang ia jodohku, mudahkanlah, dan kalau memang bukan, jauhkanlah kami sejauh-jauhnya, karena aku tak sanggup melihat wajahnya.” Begitulah doa yang kututurkan kepada yang Maha Agung dalam setiap sholat 5 waktuku dan di setiap hembusan nafasku.
Bulan berganti bulan. Tak ada yang spesial. Aku masih saja menjadi secret admirer-nya. Menatapnya dari jauh, berharap bagaikan sosok Cinderella yang dijemput olehnya. “Ah, hanya lamunan saja,” gumamku. Kebetulan, entah ada angin darimana, organisasi tempatku bernaung dan menghabiskan waktuku selain kuliah, melakukan kerjasama dengan organisasi tempatnya bernaung. Tetap saja tidak ada yang spesial. Aku tidak terlalu memegang peranan penting dalam kepanitiaan tersebut. Sie konsumsi, ya itulah posisi yang selalu aku terima, bahkan aku dijuluki the best sie consumption ever, sementara ia menjadi ketua panitia pelaksana. “Ya Allah, tabahkanlah hatiku,” ucapku dalam hati. Perasaan cemburu, pasti ada ketika melihatnya akrab dengan beberapa akhwat lain ketika ia sedang berdiskusi masalah kegiatan. Tapi aku kembali berfikir, siapa aku? Berani-beraninya aku cemburu.
Akhirnya saat itu, aku masih ingat betul tanggal 21 Januari 2008, aku bertemu dengan Imran di masjid kampus. Itulah pertama kalinya Imran melihatku dan ia melemparkan senyumnya kepadaku. Oh My God, perasaanku saat itu. Tubuhku terasa meleleh dan dunia seolah milik berdua, yang lain ngontrak! Senyum yang bagi Imran tak berarti apa-apa, tapi bahkan lebih berarti dari proposal PKM-ku yang telah di-acc oleh kampus. Seusai sholat, tak sengaja aku mendengar pembicaraan Imran dengan salah seorang temannya. Sayup-sayup kudengar mereka mengucap kata Thailand. Sebenarnya tak ada maksud untuk menguping. Tetapi karena penasaran, kuhentikan langkahku sejenak.
Hatiku rasanya remuk, hancur berkeping-keping, bagai tersambar petir di siang bolong. Aku menangis, rasanya ingin berteriak di lapangan luas. Teman-temanku bertanya. “Kamu kenapa?” tanya salah seorang temanku. Aku hanya diam seribu bahasa. Tak sepatah katapun terucap dari mulutku. Aku hanya menggeleng dan terus menangis.
Obrolan Imran dan salah seorang temannya di masjid tadi ternyata membicarakan tentang pertukaran pelajar yang akan ia jalani selama 6 bulan. Ia akan berangkat beberapa hari lagi. Entah kenapa mendengar hal itu rasanya dunia sudah tak ada artinya lagi.
Dua tahun berlalu, kini aku duduk di semester lima, sedangkan Imran telah duduk di semester tujuh. Namun penantianku tak pernah padam. Doa selalu kulantunkan kepada Sang Maha Pencipta. Dia Maha Tahu, aku hanya bisa terus berikhtiar dan pasrah kepada yang Di Atas. Doa tak pernah putus aku lantunkan. Biarlah ini sebagai bentuk usahaku. Kedua kalinya, kami tergabung dalam kepanitiaan yang sama.
Kami, para panitia tak hanya membahas program kami ketika rapat, namun juga seringkali kami berdiskusi di forum internet. Tanpa disangka salah seorang temanku menyebut namaku di forum itu, dia membahas habis-habisan tentang aku. Dibilangnya, aku ini cekatan, tanggung jawab terhadap tugas, dan sebagainya. Aku merasa malu, karena sebenarnya aku hanya melakukan apa yang aku bisa. Setelah aku amati betul-betul, aku baru tahu dengan siapa temanku membahas namaku. Imran! Mataku terbelalak, hatiku deg-degan tak karuan. Kira-kira apa yang ada di pikiran Imran ketika mendengar semua itu?
Keeseokan paginya, aku menegur temanku itu, Vita namanya. Aku spontan saja marah kepadanya atas apa yang dia bicarakan semalam di forum. Vita bingung, dia menganggapku marah tanpa alasan. Akhirnya aku jelaskan saja kenapa aku marah, aku bilang kalau tadi malam dia membicarakanku dengan Imran. Vita tambah bingung. “Lantas kenapa, Nit?” tanya Vita. Aku malah jadi salah tingkah. Vita semakin penasaran, dia malah menggodaku. “Kamu suka sama Imran ya, Nit?” “Apaan, sih?” jawabku tegas. Aku bergegas pergi dan berpikir akan tindakanku barusan. “Apa yang aku lakukan? Kenapa aku harus marah? Aduh bodoh sekali aku ini!” gumamku dalam hati. Ini malah akan membuka peluang teman-temanku untuk mengetahui rahasiaku. Rahasia yang memang tak seorangpun boleh tahu.
Kadang-kadang aku merasa kalau hidupku ini bagai cerita dalam sinetron yang tak berujung. Lantas kalau ini memang sinetron, siapa tokoh antagonisnya? Apakah Tuhan yang tidak pernah membukakan jalanku dengan Imran? Apakah aku sebagai tokoh protagonist yang selalu menangis mengemis cinta? Tapi aku kembali membuka pikiran, bahwa Tuhan tidak mungkin membiarkan hamba-Nya menderita. Di balik semua penantianku ini pasti akan ada hasil yang indah, sekalipun keindahan itu tak berarti kebersamaanku dengan Imran.
Siang itu terasa sangat terik, aku ada kelas jam setengah satu nanti. Kepala enggan terangkat, langkahku pun terasa berat. Aku hanya ingin duduk-duduk di sini, di markas organisasi tempatku bernaung. Dari depan pintu terdengar suara Vita memanggil namaku. “Nitaa…Nitaa…kamu dicariin tuh”. “Siapa sih? Suruh masuk aja deh.” Karena merasa tidak enak, langsung saja aku keluar dari ruangan itu, dan coba tebak siapa yang mencariku…Imran! Tak pernah terbayangkan olehku kalau dia akan mencariku. Udara yang tadinya sangat panas mendadak jadi dingin, dan darahku pun terasa beku. Tubuhku gemetar, aku tak sanggup lagi.
Dengan suara gagap aku memulai perbincangan.
“Aaa ada apa ya, Mas, mencari saya?”
“Oh, kamu ya yang namanya Nita? Kayaknya kita sering ketemu deh ya, tapi kok kita jarang ngobrol ya”
Ya iya lah, sahutku dalam hati. Lihat aja udah syukur, apalagi ngobrol.
“Aku dengar kamu aktif ya di organisasi ini? Udah gitu, katanya kamu salah satu member yang hebat juga.”
“Ah, gak gitu kok, Mas. Saya cuma berusaha semaksimal saya, lagian pengurus yang lain juga masih banyak yang bagus,” sanggahku.
Tatapannya tajam, dia bahkan menghentikan obrolannya dan menatapku dengan tatapan penasaran. Ada apa ini? Apa ada yang salah dengan bedakku, atau mungkin kerudungku miring? Atau mungkin pakaianku aneh? gumamku heran.
“Kenapa, Mas?” aku memalingkan mukaku.
“Oh, tidak. Aku permisi dulu ya, banyak hal yang harus aku selesaikan.”
“Iya, Mas. Monggo,” jawabku singkat.
Padahal aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya datang, menanyakan beberapa hal, dan pergi begitu saja. Namun begitu, ini merupakan hal besar untukku, sebuah perubahan yang sangat berarti meskipun mungkin pertemuan tadi tak ada arti apa-apa untuk Imran. Pertemuan singkat yang benar-benar bermakna untukku.
Allah seolah belum berhenti memberikan kejutan untukku. Dua minggu setelah diberikan kenikmatan menemui bulan Ramadhan dan merayakan hari kemenangan, sesuatu yang sama sekali tak aku duga terjadi. Bruum..bruum…suara sepeda motor terdengar dari dalam rumahku di daerah Gunung Kidul. Aku buka pintu dan aku lihat sayup-sayup Vita melangkah menuju rumahku.
“Vita, ya ampun kamu jauh-jauh dari Jogja kesini?”
“Iya dong, tali silaturahmi kan harus tetap dijaga,” ucapnya sambil cipika-cipiki denganku.
Ternyata dia tak sendirian, aku lihat dari kejauhan langkah seorang lelaki yang semakin mendekati rumahku. Aku hafal langkah itu, aku hafal cara berpakaian itu, dan aku hafal torehan senyum di wajah itu. Imran! Ternyata lelaki yang datang bersama Vita adalah Imran, dan Vita pun bercerita bahwa Imran lah yang ngebet ingin diantar ke rumahku.
Tanda tanya besar kembali muncul di kepalaku. Ada apa ini? Aku mempersilahkan mereka berdua duduk di ruang tamuku yang sederhana. Anehnya, tiba-tiba Vita ijin ke belakang dengan alasan ingin membantu ibuku menyiapkan suguhan. Aku ditinggal bersama Imran di ruang tamu. Obrolan kami pun bukan obrolan yang berbobot, namun mengalir begitu saja dan terdengar sangat mengasyikkan. Tiba-tiba dia mengucapkan kalimat yang menghunjam jantungku.
“Dek, entah kenapa akhir-akhir ini nama dan wajahmu selalu menghiasi aktivitasku, diawali dari obrolanku dengan Vita tentang kamu yang tidak disengaja, sampai pada saat ini. Sepertinya pertemuan kita ini kok sudah diatur sama yang Di Atas ya, Dek.”
Aku hanya diam, tak mampu berkata apa-apa. Ingin rasanya aku juga mengungkapkan hal yang sama, bahkan lebih. Jika ia bilang ia baru-baru ini memikirkanku, aku bahkan sudah dua tahun memikirkan tentangnya. Aku sempat berfikir apakah perasaanku terbalas? Apakah doaku diijabahi oleh Allah? Belum selesai aku berfikir, sekali lagi dia mengucapkan kalimat yang membuatku diam seribu bahasa.
“Dek, ta’arufan yuk.”
“What?” jerit batinku.
Vita yang ternyata sedari tadi mendengarkan obrolanku dengan Imran tiba-tiba keluar.
“Asyiikk, akhirnya bang Imran ngomong juga”. Usut punya usut, setelah perbincangan Imran dengan Vita tentang aku, Imran selalu menanyakan hal apapun tentang aku kepada Vita. Aku bagaikan disiram air zam-zam di siang hari bolong yang panas, sangat menyejukkan.
“Apa Mas serius?” tanyaku lirih. “Iya lah, Dek. Untuk apa aku jauh-jauh dari Jogja kalau hanya untuk main-main”. “Iyo ndukí kalau ada laki-laki yang serius sama kamu tu, ndak usah lagi dipikir terlalu panjang” suara Ibu dari dapur. “Ibu, kok Ibu…”. Ternyata sedari tadi Ibu juga mengamati pembicaraanku dengan Imran. Sepertinya lampu hijau sudah kudapat dari Ibu. Oleh karena itu, dengan suara yang lembut namun tegas aku jawab, “kalau mas serius, mari kita mencoba untuk lebih mengenal satu sama lain”.
Akhirnya pada hari itu aku dan Imran secara resmi berta’arufan. Malam harinya di sholatku, aku tak henti-hentinya memuja Allah, rasa syukur dan terima kasih aku ucapkan berulang-ulang atas apa yang Dia berikan padaku hari ini. Sepertinya doaku benar-benar terkabul. Sikap ikhtiarku dijabah oleh-Nya. Meskipun harus menunggu selama dua tahun, Ternyata dari dua tahun itu aku mendapatkan banyak hal. Dari segi kesabaran, keadaan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah, dan sekarang aku mendapatkan kesuksesan.
Satu bulan kemudian, tanpa ada perjanjian dulu secara mengejutkan Imran datang bersama dengan keluarganya ke rumahku. Mobil iring-iringan berjumlah tiga buah, pakaian rapi, dan dengan sangat lembut dia mendekat dan mengucapkan kalimat yang selama ini aku impi-impikan. “De, ku pinang kau dengan Bismillah…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar