Cerpen
Patria Handung Jaya
Kulihat
lagi diriku di cermin, ternyata jilbabku masih miring. Kurapikan lagi jilbabku,
kupoles pula wajahku dengan bedak agar terlihat sedikit lebih putih. Semua
sudah siap. Cincin emas dan kalung emas putih terjuntai indah menghiasi
tubuhku. Tak lupa jam tangan merk terkenal
kulingkarkan di tangan kiriku.
“Oh, payung…siapa tahu nanti hujan,”
batinku. Malam itu, seperti biasanya rumah tampak sepi. Anak dan menantuku
belum pulang. Sedangkan cucuku…ya, namanya anak baru gede masih
senang-senangnya mencari jati diri. Hanya ada pembantu di rumah yang sedang asyik ngobrol dengan tukang kebun
sebelah rumah.
“Mbak, aku pergi ya,”teriakku dengan
suara icempreng
“Badhe
tindak pundi to bu Joyo?”, suara
mbak Minah dengan logat Jowonya yang
kental
“Biasa to mbak…aku itu mau kerja”
“Aduh, bu…nanti kalo saya kena marah mas
Agil lagi bagaimana? Kemarin saja saya dibentak habis-habisan sama mas Agil
gara-gara membiarkan Ibu pergi.
“Uwes-uwes…nanti
biar aku yang bicara sama anakku, wes yo mbak
aku berangkat.”